Biografi Singkat Hamzah Fansuri Sang Sastrawan Sufi Aceh Abad XVII
Fansuri dua bersaudara itu, Ali dan Hamzah, berasal dari Parsia. Pada zaman Kerajaan Islam Samudra/Pasai diperintah Sulthan Alaiddin Malikussalih (659-688H. - 1261-1289M.) banyak Ulama Besar dari Negeri Parsi yang datang kesana, baik untuk mengajar pada pusat-pusat Pendidikan Islam yang bernama "Dayah", maupun untuk menyumbangkan tenaganya pada lembaga lembaga pemerintahan. Salah seorang di antara Ulama Besar, yaitu "nenekmoyangnya" Ali dan Hamzah, dipercayakan oleh Kerajaan untuk memimpin Pusat Pendidikan yang bernama DAYAH BLANG PRIA. Ulama Besar tersebut terkenal dengan nama Syekh Al Fansuri, hatta keturunannya yang menjadi Ulama memakai "Fansuri" di ujung namanya.
Pada masa Sulthan Alaiddin Riayat Syah Saidil Mukammil memerintah Kerajaan Aceh Darussalam (997-1011 H. 1589—1604 M.), dua orang Ulama turunan Syekh Al Fansuri mendirikan dua buah Pusat Pendidikan Islam di pantai barat Tanah Aceh, yaitu di Daerah Singkel. Ali yang telah menjadi Syekh Ali Fansuri mendirikan Dayah Lipat Kajang di Simpang Kanan, sementara adiknya, Hamzah, yang telah menjadi Syekh Hamzah Fansuri mendirikan Dayah Oboh di Simpang Kiri Rundeng.
Dalam tahun 1001 H. = 1592 M., Syekh Ali Fansuri dikurniai seorang putera dan diberi nama Abdurrauf, yang kemudian menjadi seorang Ulama Besar yang bergelar Syekh Abdurrauf Fansuri dan lebih terkenal dengan lakab Teungku Syiahkuala. Abdurrauf Syiahkuala kemudian menjadi lawan terbesar dari "Filsafat Ketuhanan" Wahdatul Wujud yang dianut pamannya, Syekh Hamzah Fansuri, dan Khalifahnya yang terkenal Syekh Syamsuddin Sumatrani. Syek Abdurrauf Fansuri dan Nuruddin Ar Raniri adalah dua tokoh Ulama Besar penganut dan penegak Filsafat Ketuhanan Isnainiyatul Wujud.
Apabila dan dimana tempat lahir Hamzah Fansuri, belum diketahui dengan pasti. Ada yang mengatakan di Samura/Pasai dan ada pula yang mengatakan di Singkel. Dalam serangkum sajaknya, Hamzah menjelaskan tentang asal-usulnya :
Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi,
Beroleh khilafat ilmu yang 'ali,
Daripada Abdulqadir Saiyid Jailani.
Dalam sajak tersebut, kecuali menerangkan bahwa nenekmoyangnya ialah Syekh Al Fansuri, juga Hamzah menjelaskan bahwa beliau adalah pengikut Tharikat Abdulqadir Jailani, seorang Ulama Tasauwuf terkenal.
Dalam sajak yang lain, dijelaskan bahwa beliau hidup pada masa Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sulthan Alaiddin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997 — 1011H - 1589-1604 M.) :
Dibawah hadlarat raja wali.
Raja kutub sempurna kamil,
Wali Allah sempurna wasil,
Raja arif lagi Mukammil.
Dalam sajak yang lain, yang diciptakannya waktu Hamzah sedang berada di Kota Quddus (Baital Maqdis/Darussalam) Palestina, dijelaskan bahwa tanah airnya adalah Tanah Aceh:
Akan rumahnya Baitul Makmuri,
Kursinya sekalian kapuri,
Di Negeri Fansuri minal asyjari.
Waktu sedang di rantau (Kota Quddus, Palestina), Hamzah menerangkan bahwa rumahnya (tempat lahirnya) di Baitul Makmur, nama lain dari Aceh Darussalam, tegasnya di Kampung Oboh Simpang Kiri (Singkel) yang telah berubah namanya menjadi "Negeri Fansuri", semenjak Hamzah mendirikan Dayah (Pusat Pendidikan Islam) di kampung tersebut.
Sumber lain didalam buku Pengarang buku "The Mysticcism of Hamzah Fansuri", Prof. Dr. Naguib Alatas, dalam sebuah ceramahnya di depan para sarjana di Darussalam Banda Aceh pada awal tahun tujuh puluhan, menerangkan bahwa Hamzah Fansuri adalah Pujangga Melayu terbesar dalam abad XVII, Penyair Sufi yang tidak ada taranya pada zaman itu. Hamzah Fansuri adalah "Jalaluddin Rumi"-nya Kepulauan Nusantara, demikian Naguib Alatas menegaskan, yang selanjutnya mengatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah pencipta bentuk pantun pertama dalam bahasa Melayu.
Tentang Syekh Hamzah Fansuri sebagai seorang Pujangga Melayu dan Penyair Sufi di Rantau Asia Tenggara, adalah suatu kebenaran yang dibuktikan fakta-fakta sejarah.
Pengetahuannya yang luas, yang ditimbangnya di Dayah Biang Pria Samudra/Pasai, India, Parsia dan Arabia telah mengangkat beliau ke tempat kedudukan yang tinggi. Penguasaannya akan bahasa Arab, bahasa Urdu dan bahasa Parsia telah membantu beliau untuk memahami dan menghayati tasauwuf/thariqat dan filsafat Ibnu Arabi, Al Hallaj, Al Bistami, Maghribi, Syah Nikmatullah, Dalmi, Abdullah Jilli, Jalaluddin Rumi, Abdulqadir Jailani dan lain-lainnya.
Dalam Filsafat Ketuhanan, Hamzah Fansuri menganut aliran "Wahdatul Wujud", dan sebagai seorang Penyair Sufi beliau men-jadi pengikut dan pemuka Thariqat Qadiriyah.
Pengembaraannya yang jauh ke negeri-negeri Semenanjung Tanah Melayu, Pulau Jawa, India, Parsia, Arabia dan sebagainya, telah membuat Hamzah Fansuri mempunyai cakrawala yang sejauh ufuk langit, sehingga beliau menjadi seorang pengarang/ sastrawan, yang karya tulisnya berisi padat dan penuh dengan butir-butir filsafat, tetapi halus dan enak dibaca. Sebagaimana lazimnya "Penyair Sufi", maka sajak-sajak Hamzah Fansuri penuh dengan rindu-dendam; rindu kepada Mahbubnya, Kekasihnya, Khaliqnya, Allah Yang Maha Esa. Sedemikian rindunya, hatta dia merasa seperti telah bersatu/ menjadi satu dengan Kekasihnya itu, sehingga Hamzah seakanakan berbicara dengan Lidah Khaliqnya, mendengar dengan Telinga Khaliqnya, melihat dengan Mata Khaliqnya, mencium dengan Hidung Khaliqnya, karena jasadnya telah luluh ke dalam Khaliqnya; Mahbub yang dirindukannya itu.
Karena itulah, maka "Karya Tulis" Hamzah Fansuri sukar dimengerti dan dipahami oleh orang yang tidak banyak membaca dan mendalami buah pikiran dan filsafat Ulama Tasauwuf/Penyair Sufi.
Sepanjang yang saya ketahui, ada lima buah Karya Tulis dari Syekh Hamzah Fansuri, dan yang tidak saya ketahui kemungkinan besar lebih dari sepuluh.
Kelima Karya Tulisnya yang saya ketahui, yaitu :
- Asraarul Arifiin Fi Bayani Ilmis Suluk wat-Tauhid, yang membahas masalah-masalah ilmu tauhid dan ilmu thariqat. Dalam kitab ini tersimpan ajaran-ajaran beliau.
- Syaraabul Asyiqin, yang membicarakan masalah-masalah thariqat, syariat, haqiqat dan makrifat.
- Al Muntahi, yang membicarakan masalah-masalah tasauwuf.
- Rubai' Hamzah Fansuri, syair sufi yang penuh butir-butir filsafat.
- Syair Burung Unggas, juga sajak sufi yang dalam maksudnya. Menurut Hamzah Fansuri, bahwa manusia yang telah menjadi "Insan Kamil" tidak ada lagi pembatas antara dia dan Mahbubnya,
karena Insan Kamil telah menfanakan dirinya ke dalam diri Kekasih yang dirindukannya:
Pada ainama tawallu jangan mau ghafil,
Fa samma Wajhullah sempurna wasil,
Inilah jalan orang kamil.
Pada kedua alam nyata terbentang,
Ahlul Makrifah terlalu menang,
Wasilnya daim tiada berselang.
Lenyapkan badan dan nyawamu,
Pejamkan hendak kedua matamu,
Di sana lihat peri rupamu.
Tujuan utama Prof. Dr. Saiyid Naguib Alatas ke Aceh pada awal tahun tujuhpuluhan, yaitu untuk mencari naskah "Ruba'i Hamzah Fansuri" yang lengkap. Telah dicarinya ke Negeri Belanda, Inggris, Prancis dan lain-lain negeri Eropah, tetapi tidak dijumpainya; yang didapatinya hanya sejumlah rangkum-rangkumnya yang terpisah-pisah. Yang dicari itu, juga di Aceh tidak dijumpainya, sekalipun beliau telah mengunjungi beberapa perpustakaan tua, seperti Perpustakaan Dayah Tanoh Abey yang masih menyimpan lebih 1000 buah naskah tua tulisan Arab Melayu.
Waktu saya mencari bahan-bahan untuk penyusunan sebuah buku (sedang dalam penyiapan), saya berhasil mendapati dua naskah tua Karya Tulis Syekh Hamzah Fansuri, yaitu Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri dan Syair Burung Unggas.
Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri, yaitu Ruba'i yang telah disyarahkan oleh Syekh Saymsuddin Sumatrani, Khalifahnya yang utama, saya dapati dalam kumpulan beberapa Karya Tulis karangan Syekh Abdurrauf Syiahkuala, yang saya pinjam dari Almarhum Teungku Muhammad Yunus Jamil. Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri setelah saya fotokopikan, kemudian menganalisanya menjadi sebuah buku dengan judul: Ruba'i Hamzah Fansuri Karya Sastra Sufi Abad XVII, dan dalam tahun 1976 telah diterbitkan di Kuala Lumpur oleh Dewan Bahasa Dan Pustaka.
Naskah tua Syair Burung Unggas, saya dapati dalam tumpukan puing-puing naskah tua, sisa Perpustakaan Teungku Chik Kutakarang, tidak berapa jauh dari Banda Aceh. Menurut setahu saya, Naskah Syair Burung Unggas belum pernah diterbitkan. Mungkin sekali saya orang pertama yang menemunya di Indonesia. Sungguhpun tidak begitu panjang, namun mempunyai arti yang penting. Beberapa rangkum dari Syair Burung Unggas, saya turunkan di bawah ini:
Daimnya nantiasa di dalam astana,
Tempatnya bermain di Bukit Tursinà ,
Majnun dan Laila adalah di sana.
Berbunyi ia syadda kala hari,
Bermain tamasya pada segala negeri,
Demikianlah murad insan sirri.
Nantiasa berbunyi siang dan malam,
Tempatnya bermain pada segala alam,
Di sanalah tamasya melihat ragam.
Olehnya banyak ragam dan ulah,
Tempatnya bermain di dalam Ka'bah,
Pada Bukit Arafah kesudahan musyahadah.
....................................................................................................................................................................
Warnanya terlalu bisai,
Rumahnya tiada berbidai,
Duduknya daim di balik tirai.
Daulahnya itu bernama ruhi,
Milatnya terlalu sufi,
Mushafnya bersurat Kufi.
Jambullah akan tolannya,
Baitullah akan sangkarnya,
Menghadap Tuhan dengan sopannya.
Fi Mekkah daim bermain,
Ilmunya lahir dan batin,
Menyembah Allah terlalu rajin.
Fikrullah rupa bunyinya,
Syurbah tauhid akan minumnya,
Daim bertemu dengan Tuhannya.
....................................................................................................................................................................
Pada akhir pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Meukuta Alam (wafat 29 Rajab 1046 H. = 27 Desember 1636 M.), Syekh Hamzah Fansuri meninggal dunia di Wilayah Singkel, dekat kota kecil Rundeng. Beliau dimakamkan di Kampung Oboh Simpang Kiri Rundeng di Hulu Sungai Singkel. Saya telah dua kali ziarah ke sana. Makamnya sangat dimuliakan
Demikianlah ulasan tentang biografi singkat Hamzah Faansuri sang sastrawan sufi aceh abad XVII. semoga bermamfaat dan menjadi wawasan baru. semoga sukses selalu. Salam penulis. Wasalam
